Untukmu yang tangannya sedang kugenggam…
Beritahu aku jika sabarmu hampir menyentuh dasar. Agar aku tahu mengisi ulang dengan cara yang kita berdua mengerti. Agar segala pertengkaran dan sebal hanyalah lelucon-lelucon tak lucu yang kita tertawakan di masa depan.
Untukmu yang tangannya sedang kugenggam. Tahukah kau bahwa dalam sendiri aku sering mendoakanmu dalam diam. Berbisik pada rintik dan derai saat hujan menyembuhkan kemarau. Aku mendoakan terbaikmu. Kau dicintai dengan terlampau banyak.
Untuk kau yang tangannya sedang kugenggam…
Jangan pernah lepaskan genggam ini saatku menyebalkan. Jangan lepaskan genggam ini saatku tak menyenangkan. Karena kau tahu, genggam erat ini adalah tanda bahwa bersama adalah kebahagiaan yang tanpa nama.
Tuan, lukaku kini sembuh dimakan masa.
Yang ada hanya kau yang memeluk mesra segala sakitku.
Tuan, jika benar kau yang satu. Maukah kau tetap menjadi punggung tempatku pulang saat ragu mengiringku berjalan jauh?
Seluruh isi kepala kita yang bahkan belum sepenuhnya kita jelajahi, kita tak pernah tahu apa yang kita mau. Kamu haus, mari istirahat sebentar. Sambil kuceritakan satu kisah padamu, tentang seseorang yang lupa merasa, dibunuhnya beberapa mimpi, dijalaninya hari-hari tanpa ambisi. Hanya jalan, tapi dia tahu, setiap mimpi yang dibunuh akan lahir kembali, lebih besar, lebih kuasa –sebab dia percaya pada reinkarnasi.
Lalu tiba satu ketika, kala seseorang datang, terluka sama parah hingga membuatnya iba. Baginya yang pernah jatuh, amat sakit ketika jatuh tapi tak ada yang memapah. Untuk itu dia memapah orang itu berdiri, berjalan menelusuri meter, kilo hingga orang tersebut kembali tegak berdiri. Sebagai gantinya, dia yang kembali jatuh, hatinya jatuh.
Tuan tak perlu kau balas suratku ini. Cukup kau baca dan kau
taruh hati-hati di atas meja. Biarkan dia menjelma sepotong rindu yang meremang
dalam gelisah malam-malammu. Dan menjelma teman baru untuk sepotong bulan di beranda
di sepanjang minggu.